Laman

Minggu, 03 Agustus 2014

Ketika Musim Mudik Tiba

Selamat datang di Kulon Progo Binangun ^_^


Selamat datang Agustus!

Hari ini, cuti bersama lebaran telah berakhir. Mulai senin besok, Jakarta akan kembali normal. Dipadati penduduknya yang aktif berlalu-lalang membuat jalanan Jakarta menjadi super padat.

Plt Gubernur Bapak Ahok akan kembali sibuk mengurusi penduduk Jakarta, yang tentunya, seperti tradisi setiap habis Lebaran, jumlahnya akan bertambah dengan pendatang.

Kali ini aku ingin mengenang masa laluku, saat aku masih kuliah dulu. Ini sepenggal kisah tentang mudik, yang tercecer dalam ingatanku.

Sudah menjadi tradisi bagi sebagian orang, menjelang lebaran adalah musim mudik. Tapi tradisi itu tak ada dalam keluargaku, walau Bapak dan Ibuku adalah perantauan di Jakarta, sejak aku kecil tak pernah sekalipun Bapak mengajak kami sekeluarga mudik ke desa Janten, Jogjakarta, untuk berlebaran bersama Mbah, bulik dan dua sepupuku. Alasan Bapak, karena malas berdesak-desakan dan bermacet-macet ria bersama para pemudik lain.

Bapakku memilih mengajak kami sekeluarga mudik ke kampung halaman Bapak dan Ibuku di Jogja justru seminggu sebelum berpuasa. Sanak saudara kami yang tinggal bertebaran di berbagai pelosok kota, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Jogja juga terbiasa berkumpul seminggu sebelum bulan Ramadan, bersilaturahmi sekaligus berziarah ke makam para leluhur kami. Acara itu kami sebut sebagai acara ruwahan.

Terkadang aku penasaran ingin tahu bagaimana rasanya mudik menjelang lebaran, dan aku juga ingin sekali-kali merasakan bagaimanakah suasana lebaran di kampung Mbahku. Selama bertahun-tahun rutinitas lebaran yang aku jalani di lingkungan tempat tinggalku selalu sama. Di awal pagi Idul Fitri, kami pergi ke masjid dekat rumah, bersiap sholat sunnah Idul Fitri bersama-sama warga tempat tinggalku di halaman masjid.

Seusai sholat Idul Fitri, kami saling berkunjung bersalaman-salaman kepada semua tetangga di kanan, kiri, depan dan belakang rumah. Penduduk di daerah tempat tinggalku kebanyakan adalah warga asli Betawi -Tangerang, merekalah yang menjadi tuan rumah,  sementara kami warga pendatang berkunjung mendatangi rumah mereka satu-persatu. Acara silaturahmi dengan tetangga itu biasanya akan berakhir menjelang pukul sepuluh pagi.

Kemudian dilanjutkan berlebaran ke rumah bulik bapakku dan kakak ibuku. Begitu rutin setiap tahun. Hingga aku merasa suasana lebaran bagiku biasa-biasa saja, kecuali tempat tinggalku yang semakin padat yang artinya semakin banyak tetangga yang harus dikunjungi.

Pada suatu lebaran, ketika aku masih duduk di bangku kuliah, bapakku berencana mengajak kami sekeluarga mudik di hari kedua lebaran.

“Mudik di hari lebaran, pasti jalanan menuju Jogja tak sepadat sebelum lebaran.” Alasan bapak.

Kami semua setuju. Bagiku tak mengapa kami datang terlambat ke kampung Mbahku. Walau sudah hari kedua lebaran, pastilah masih terasa aura lebarannya. Setelah kami usai bersilaturahmi kepada tetangga dan keluarga besar di Jakarta, kami segera pergi tidur, agar bisa bangun menjelang subuh, dan langsung berangkat begitu usai sholat subuh.  Kami sekeluarga menumpang mobil minibus tua yang sudah tak ber-AC milik bapak yang dikendarai sendiri oleh bapak. Waktu itu, bapak masih sehat, masih muda, masih kuat menyetir mobil jarak jauh. Pandangannya pun masih awas.

Perkiraan bapak lalu lintas mudik di hari kedua lebaran pasti lancar tak terbukti. Ternyata banyak juga warga yang memilih baru mulai mudik di hari kedua lebaran. Di beberapa tempat malah ramai sekali dan menimbulkan sedikit kemacetan. Tapi tentunya tak semacet hari-hari sebelumnya. Aku sangat menikmati perjalanan itu. Tak sabar ingin segera sampai di desa Mbahku.

Lewat tengah hari, kami beristirahat di sebuah rumah makan bermaksud hendak makan siang sekaligus menumpang sholat dzuhur. Rumah makan itu lumayan besar, tak ada pengunjung lain kecuali kami. Seorang pelayan mempersilakan kami duduk dan memberikan buku menu.

“Wah, asyik nih, ada sop. Aku mau sop saja, segar," kataku.
“Ibu juga mau sop deh.”

Kedua adikku dan bapak memesan soto ayam. Kami memesan es jeruk sebagai minumannya. Sambil menunggu pesanan, kami sholat dzuhur di mushola rumah makan itu. Tapi seusai sholat, ternyata makanan pesanan kami belum juga diantarkan.

“Kok lama banget ya? Udah keburu laper nih,” keluhku.
“Ayamnya belum ditangkap kali ya?”sahut adikku.
“Ayamnya lagi pada lebaran, hehehe.” Adikku yang bontot ikut nimbrung.

Hingga lebih dari setengah jam, pesenan kami belum juga dihidangkan.

“Wah, kalau memang mereka belum siap melayani pesanan, harusnya jangan buka dong! Jadi kan kita nggak terjebak terlanjur memesan di sini,” keluhku.

“Ya sudah, sabar, kan masih lebaran, masa udah mau ngomel lagi,” tegur ibu.
 “Pasti karena banyak pegawainya yang mudik. Ini Bersyukur loh, masih ada tempat makan yang buka, menolong musafir yang mudik hari ini seperti kita,” kata bapak.

Aku terdiam malu sendiri. Benar, baru saja sebulan lalu berpuasa, menahan segala nafsu amarah, kemarin bermaafan, tak pantas jika sekarang sudah mulai mengomel lagi.

Setelah hampir empat puluh menit, akhirnya pesanan kami baru tersaji. Sopnya tampak dipaksakan segera matang. Wortelnya masih agak keras. Ayam di soto ayam juga masih agak kenyal. Es jeruk yang kami pesan ternyata adalah minuman serbuk jeruk yang diaduk dengan air dingin. Tapi kami nikmati saja semua hidangan itu. Ini lebaran, ikhlas pasti lebih baik untuk semakin menyemarakkan suasana lebaran. Setelah kami cukup beristirahat, kami kembali melanjutkan perjalanan.

Menjelang magrib, sampailah kami di desa Janten. Dari jalan raya, rumah Mbahku sudah terlihat di kejauhan. Karena kanan kiri jalan adalah sawah membentang, maka pandangan menuju rumah Mbahku itu tak terhalang. Mbah, bulik dan kedua sepupuku menyambut kami penuh suka cita.

Desaku yang kucinta. Datang ke rumah ini selalu saja menyegarkan pikiran 


Setelah saling bermaaf-maafkan, aku segera mengeluarkan penganan khas lebaran dari Jakarta yang kami bawa, ada : dodol betawi, tape ketan hitam, uli, kue kembang goyang dan akar kelapa.

“Wah, makanan lebaran di Jakarta seperti ini ya?” kata Mbah putri yang kemudian mencoba dodol betawi.

Bulik dan sepupuku juga ikut mencicipi penganan yang kami bawa. Sementara aku langsung melahap kue khas lebaran di desa Janten seperti apem, wajik tape ketan, krimpying, bakpia dan banyak lagi.

Hidangan kue di Desa Janten
Nggak ketinggalan lemper dan tempe benguk
Foto by Erma


Bagiku rasanya nikmat sekali, karena bercampur dengan rasa sukacita berkumpul bersama Mbah Putri, bulik dan kedua sepupuku.

Lebaranku tahun itu sungguh istimewa.

Kamis, 31 Juli 2014

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1435 H

by : Walt Disney Studios
Tak terasa sudah akhir Juli ... sudah bulan Syawal hari ke-4. Walau telat beberapa hari, aku ingin mengucapkan kepada semua teman-teman yang kebetulan membaca blog-ku :

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1435 H.
Mohon maaf lahir dan batin



Lebaran tahun ini sedikit berbeda dengan lebaran tahun-tahun sebelumnya. Biasanya, sesudah solat Ied, setelah keluarga kami saling bermaaf-maafan, kami keliling kampung, mendatangi rumah tetangga satu per satu, bersilaturahim, salam-salaman dan bermaafan.

Tapi karena bapakku belum pulih benar, kami berdiam saja di rumah, menunggu tetangga datang bersilaturahim ke rumah kami.

Setelah bermaafan pada tetangga, biasanya, keluarga kami menuju rumah Mbahku di Slipi, lalu ke rumah Budeku di Percetakan. Tapi lagi-lagi tahun ini berbeda. Bapak dan ibu tetap di rumah, karena bapak belum bisa ikut perjalanan yang terlalu jauh. Khawatir beliau cepat lelah. Maka, hanya aku dan kedua adikku yang berangkat berlebaran menuju rumah Mbah dan Bude-ku.

Aku tetap bersyukur, walau tahun ini tetap tak terlepas dari ujian kesabaran, dengan bentuk yang berbeda dibanding ujian kesabaran tahun lalu. Aku selalu siap menghadapi apa pun. Insya Allah, Allah tak akan menguji hamba-Nya melebihi kemampuan hamba-Nya itu mengatasi masalahnya.

Aku sadar sepenuhnya, bahwa hidup itu memang nggak flat, penuh liku. Di suatu saat kau bahagia, maka bersiaplah diberi ujian sesudah bahagiamu. Namun saat kau berduka, tak perlu juga terlalu larut, karena yakinlah, tak lama dukamu akan diangkat digantikan dengan kejadian yang membahagiakan.

Begitulah hidup, bahagia dan sedih, datang silh berganti. Keduanya harus kita hadapi dengan rasa ikhlas tingkat tinggi. Berserah atas segala kehendak Allah SWT. Insya Allah semua adalah yang terbaik untuk kita. Menempa mental dan memperkaya batin.

Sekali lagi, Selamat merayakan Idul Fitri. Mari bersuka cita. Memanjatkan doa terbaik agar kita senantiasa menjadi pribadi yang kuat menghadapi lubang kehidupan sedalam apa pun. ^_^




by Walt Disney Studios
Dan ibuku yang pintar masak baru membuat rendang di hari ke-3 Lebaran. jadi, lebarannya serasa terus dan teruuuus ^_^

Rendang ala Jawa bikinan Ibu tercinta. Enaaaaak ^_^

Kue lebaran beli semua. Kecuali tape ketan buatan ibuku juga ^_^

Serunya saat sepupu dan keponakanku datang ke rumah.
Selamat Idul Fitri  ^_^

Sambil lebaran, yuuuuk yang minat baca 3 novel terbaruku ini, koleksi yaa
"Hatiku Memilihmu"
"Cinta Valenia"
"Monte Carlo"

Sabtu, 26 Juli 2014

Memories as architect : Ada Paris dan Jerman di Jogja ...

Ramadan hampir berakhir, dua hari lagi Hari Raya Idul Fitri.

Sebelum lebaran, aku ingin berbagi kisah pengalamanku saat merasakan ramadan di Jogja.

Tahun 2006 paska gempa dahsyat di Jogja, aku mendapat kesempatan ditugaskan di kota eksotis itu. Saat itu aku masih bekerja sebagai arsitek di kantor konsultan perencana PT. Hoemar Tjokroatmojo Architecture and Interior Design.

Aku senang sekali ditugaskan di Kota Jogja, bukan hanya karena aku cinta kota Gudeg itu, tapi juga karena di sanalah daerah asal muasal keluargaku.

Ibuku lahir dan besar di desa Janten, sebuah desa yang terletak di Kabupaten Kulon Progo, Jogjakarta. Memang cukup jauh dari Kota Jogja, butuh waktu satu jam perjalanan dengan kendaraan bermotor untuk mencapai Kota Jogja dari Desa Janten.

Rumah peninggakan Mbahku di Desa Janten, Temon, Kulon Progo
Tempat kami berkumpul setiap kali pulang kampung

Ditugaskan di Kota Jogja, berarti aku punya kesempatan untuk mengunjungi saudara dan kerabatku di Kulon Progo. Ada seorang bulikku dengan dua anak perempuannya yang tinggal di sana. Juga nenekku yang ketika itu sedang sakit.

“Jangan lupa, sering-sering menengok Mbah Widi.” pesan Ibuku.

Mbah Widi adalah sebutanku untuk nenekku dari pihak Bapakku. Hanya beliau satu-satunya nenek yang ketika itu masih aku punya.

Aku mengangguk. Pasti aku akan mengunjungi beliau. Karena selama ini aku sibuk bekerja di Jakarta, hanya setahun sekali aku punya kesempatan mengunjungi saudara dan kerabatku di Desa Janten. Dan kali ini adalah kesempatan langka aku ditugaskan di Kota Jogja, kota favoritku.


Sekolah SDN tepat di depan rumah peninggalan Mbah Janten

Kantor tempatku bekerja di Jakarta, bergerak dibidang konsultan desain. Setelah musibah gempa di Jogja itu, kantorku mendapat beberapa proyek untuk merenovasi bangunan-bangunan Departemen Perindustrian yang rusak akibat gempa. Aku ditugaskan bersama empat orang temanku. Kantor kami menyewakan sebuah rumah di kota Jogja untuk tempat kami tinggal dan bekerja selama bertugas di Jogja.

Kami terenyuh meyaksikan bangunan-bangunan yang rusak akibat gempa dahsyat dulu itu. Banyak masyarakat yang kehilangan rumah, terutama di daerah Bantul. Gedung-gedung Departemen Perindustrian yang harus kami renovasi juga rusak cukup parah dan sangat rentan bahaya. Harus segera direnovasi jika ingin tetap dipakai untuk kegiatan mereka sehari-hari. Aku dan keempat temanku membagi-bagi tugas, karena ada banyak gedung yang harus kami survei di lokasi yang berbeda. Tapi terkadang kami survei bersama-sama. Hingga memasuki masa Ramadhan, kami masih bertugas di Jogja.

Waktu berpuasa menjadi tak terasa karena kami semua sibuk bekerja. Kami  membuat jadwal, kapan hari untuk survei lokasi, kapan presentasi, dan kapan waktu mengerjakan gambar-gambar perencanaan dan gambar kerja serta membuat proposal.

Aku bertugas sebagai arsitek, yang membuat konsep dan gambar perencanaan. Dibantu dua temanku, Yana dan Dika yang membuat gambar kerja. Kiki kebagian tugas membuat rencana anggaran biaya. Sementara Mas Egoy bertugas menyusun proposal proyek renovasi bangunan-bangunan itu.
Kami sepakat, selama bulan puasa itu, kami hanya bekerja hingga pukul empat sore. Sesudah itu kami bersiap-siap menyambut waktu berbuka. Selama di Jogja, kami mencoba beberapa tempat yang dikenal sebagai tempat mencari makanan berbuka.

Seperti di pasar kota Gede, yang jaraknya lumayan dekat dari rumah kontrakan kami, aku merasakan sensasi yang berbeda berburu makanan berbuka di sebuah pasar di Kota Jogja. tentunya sangat berbeda dengan yang biasa aku santap di Jakarta. Ada gethuk, makanan dari singkong yang direbus, ditumbuk bersama gula. Ada tempe benguk, tempe bacem terbuat dari kacang benguk. Hm, cukup lucu ya namanya?
Kadang kami mencari makanan untuk berbuka di Jerman. Tak terbayang ada Jerman di kota Jogja, kan?

Tapi Jerman yang ada di Jogja, tentulah berbeda dengan Jerman yang ada di Eropa. Jerman di Jogja adalah singkatan dari Jejer Kauman. Kauman adalah sebuah daerah di kota Jogja. Ada sebuah gang terkenal di daerah itu yang setiap bulan puasa, menjelang berbuka dipenuhi oleh penjual makanan berbuka yang berjejer menggelar dagangannya di sepanjang gang itu. Karena itulah disebut Jejer Kauman. Masyarakat Jogja memang suka sekali membuat singkatan-singkatan yang terdengar unik, seperti Jejer Kauman disingkat Jerman.

Kami juga pernah berbuka puasa di Paris. Aneh ada Paris di Jogja? Paris di sini adalah Pantai Parangtritis. Begitulah masyarakat Jogja, senang sekali menciptakan singkatan nama sebuah lokasi hingga terdengar unik. Ini salah satu hal yang kukagumi dari kreatifitas masyarakat Jogja yang memang sebagian besar masih berjiwa seni tinggi dan lekat dengan budaya setempat dalam keseharian mereka.

Di daerah Paris, ada namanya Pantai Depok yang menjadi pusat penjualan ikan segar hasil tangkapan nelayan seperti ikan, kepiting, lobster, udang, cumi yang masih segar langsung dibawa dari laut. Di sini, kami bisa memilih dan membeli bermacam-macam hasil laut yang kami inginkan. lalu kami bawa ke pondok-pondok yang menyediakan jasa memasakkan ikan menjadi masakan seafood lezat, seperti cumi saos tiram, kepiting saos Padang, ikan Kuwe bakar.

Ada bayi hiu juga di sana! Ugh, karena penasaran dengan rasa hiu, hewan yang eksotis itu, maka aku pun membeli seekor untuk di panggang dan dimakan dengan sambal kecap. Nikmat juga rasanya! Total harga semuanya jauh lebih murah daripada masakan seafood di Jakarta. Kami pun puas dan kenyang!

Tapi sekarang aku sadar, sebaiknya ikan hiu (kalau memang benar itu ikan hiu) jangan ditangkap sembarangan. Biarkan mereka tumbuh tanpa diusik. Karena perkembangan mereka tentunya tidak semudah ikan lain yang biasa dikonsumsi manusia (benar nggak ya?)

Saat pekerjaan kami mendekati selesai, kami memanfaatkan waktu untuk rehat sejenak dengan jalan-jalan bersama-sama ke Borobudur. Ah, lumayan refreshing.

Borobudur dulu, tak lama sesudah gempa Jogja

Aku dan teman-temanku, bertahun-tahun lalu ^_^

Bangunan bersejarah di Jogja
Foto by Mas Egoy

Aku arsitek dan temanku Kiki penyusun RAB


Selama masa tugasku di Jogja, aku sempatkan untuk mengunjungi nenekku, Mbah Widi, yang tinggal di Desa Kulur, juga di Kabupaten Kulon Progo, Jogjakarta. Lokasinya sangat jauh dari Kota Jogja. Di sini juga bapakku menghabiskan masa kecilnya. Jadi bisa dibilang bapak dan ibuku tetanggan deh, sama-sama tinggal di Kabupaten Kulon Progo hanya beda desa.

Aku minta diantar sepupuku Mei untuk mencapai rumah Mbah Widi. Jalan menuju ke sana belum beraspal dan sedikit mendaki. Tetapi sesampai di sana, aku mendapatkan pemandangan yang luar biasa indahnya. Sawah hijau membentang di lereng bukit Jeruk, salah satu bukit yang terdapat dalam jejeran bukit Menoreh. Oh, indahnya! Udaranya pun masih terasa sejuk dan segar. Bebas polusi!

Ketika itu Mbah Widi terlihat lebih sehat, walau beliau sudah tak mampu lagi berdiri dan berjalan. Usianya telah mencapai tujuh puluh enam tahun. Mbah Widi dirawat oleh bulikku, Bulik Pri. Aku senang sekali melihat rona senang di wajah Mbah Widi ketika melihatku datang.

“Ealah, lama nggak kelihatan cucu Mbah...”sambut Mbah Widi, senyumnya memperlihatkan giginya telah banyak yang tanggal.

Aku menghampirinya dengan senyum tak kalah sumringah, kucium punggung tangan kanannya, lalu kukecup pipi kanan dan kirinya.

“Maaf, Mbah, aku baru sempat berkunjung sekarang.” ucapku lembut sedikit merasa bersalah.

“Cucu Mbah ini sibuk cari duit...” kata Mbah Widi lagi, senyumnya semakin lebar, ompongnya semakin jelas terlihat.

Melihat kerentaannya, membuat rasa bersalahku semakin berlipat. Rambutnya telah semua memutih. Aku bekerja jauh di Jakarta dan tiap hari tenggelam dalam kesibukkanku menjalani tugas kantor, hingga hanya mendapat kesempatan berkunjung setahun sekali. Ini pun kebetulan aku ditugaskan di Jogja, jika tidak, maka aku hanya berkunjung menjelang hari raya Idul Fitri saja.

Aku sadari saat itu, karena Mbah Widilah maka aku hadir di dunia ini sebagai keturunannya. Semoga tak kulupakan itu, tak membuatku lantas alpa untuk memperhatikan beliau. Hari itu aku tak menginap. Sorenya aku harus kembali ke Kota Jogja, kembali berkutat dengan tugas-tugas kerjaku. Tapi aku berjanji kepada Mbah Widi dan pada diriku sendiri, selama aku bertugas di Jogja, aku akan sering mengunjunginya.

Sudah sebulan lebih aku bertugas di Jogja ketika menjelang bulan puasa yang hampir habis, aku mendengar kabar dari Bulik Pri bahwa Mbah Widi kembali terserang sesak nafas dan kemudian dirawat di Rumah Sakit yang cukup jauh dari rumah walau pun masih di kabupaten Kulon Progo. Aku segera meminta ijin teman-temanku yang juga bertugas bersama untuk kembali mengunjungi Mbah Widi. Aku tak menyangka teman-temanku justru menawarkan untuk ikut berkunjung. Maka, berangkatlah kami bersama ke Rumah Sakit Daerah Wates, di Kulon Progo.

Kami berangkat menjelang sore dan sampai di rumah sakit itu sesudah magrib. Sungguh aku menyesal karena tak datang lebih cepat, kawan! Aku terlambat hanya beberapa menit. Mbah Widi telah selesai menghembuskan nafasnya terakhir begitu aku menjejakkan kaki di kamarnya di rumah sakit itu. Aku terkejut melihat ada sesosok tubuh yang ditutupi selimut putih hingga ke wajahnya. Bulik Pri dan beberapa kerabatku yang lain telah berkumpul di sekeliling tubuh berselimut itu. Aku disambut dengan kalimat Bulik Pri yang mengejutkan.

“Rum, Mbah Widi udah nggak ada...”

Aku sedih karena datang terlambat. Menyesal tak datang sejak pagi. Tak kusangka kepergian Mbah Widi begitu cepat, padahal baru satu minggu sebelumnya aku mengunjunginya dan beliau terlihat masih sehat. Memang jika Allah sudah berkehendak, tak ada yang bisa kita lakukan kecuali menerima ketetapan-Nya dengan hati ikhlas.

Malam itu aku mengantar jenazah Mbah Widi kembali ke Desa Kulur. Aku ikut memandikan jenazahnya malam itu juga. Teman-temanku masih setia menemaniku di sana. Karena rumah Mbahku mendadak menjadi banyak orang, maka kami berlima tidur berdesakan dalam mobil kantor yang dibawa temanku. Untunglah mobil itu lumayan lega.

Keesokan paginya, saudara dan kerabatku dari Jakarta termasuk Bapakku datang juga ke rumah Mbah Widi. Bersama-sama kami mengantarkan jenazahnya ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Dua hari kemudian saudara, kerabat dan Bapakku kembali ke Jakarta, sementara aku kembali ke Kota Jogja melanjutkan tugasku.

Tiga hari sebelum Idul Fitri, aku dan empat temanku kembali ke Jakarta. Kami memilih merayakan lebaran di Ibukota. Tahun itu adalah bulan Ramadhan yang paling berkesan sekaligus mengharukan buatku, karena saat itu adalah pertama kali aku menjalani Ramadhan jauh dari Bapak, Ibu dan adik-adikku. Juga karena Ramadhan tahun itu aku kehilangan Mbah Widi, nenekku yang terakhir. Semoga arwah beliau mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT, terutama karena beliau wafat di bulan suci Ramadhan, bulan penuh ampunan. Aamiin.

Jumat, 25 Juli 2014

Sunday Meeting dan Buka Bersama Gagas Media

Minggu, 12 juli 2014 ...

Aku semangat banget menghadiri undangan dari Gagas Media yang telah menerbitkan novel terbaruku, "Monte Carlo".

Setelah selama ini aku selalu berhalangan hadir dalam setiap acara yang diadakan Gagas Media, kali ini aku bertekad akan datang. Pertama, tentunya karena kini aku telah menjadi bagian dari keluarga besar Gagas Media.

Untunglah tempat berkumpul bersama Gagas ini sudah kukenal, aku pernah ke tempat ini saat ada pertemuan sesama fans Kpop Bigbang. ^_^



Senang, akhirnya aku bisa bertemu jajaran editor-editor keren Gagas Media, yang selama ini baru aku tahu namanya dan baru follow twiiternya. 

Ketemu Mbak Iwied, Mbak Resita, Mbak Michan, Mas Jumali, Mas Jeffri, Mas Edo ... aah banyak banget deh ... ada juga Raditya Dika pentolan Bukune dan Moamar MK pemred Enter Media. Ini kumpul-kumpul Gagas Grup yang terdiri dari Gagas Media, Bukune, Panda Media dan Enter Media. 

Rameee deh. Menurutku, jajaran tim redaksi Gagas Grup ini dapat disimpulkan dalam satu kata "KREATIF".

Suasana di Ragoon restoran. Para penulis Gagas grup asyik menyimak presentasi tentang eBook.

Ini dia jajaran redaksi Gagas grup

Sebelumnya kami dijelaskan tentang eBook. Bahwa ke depan nanti, eBook akan semakin maju. Karena itu, Gagas Grup juga mulai menerbitkan buku-buku dalam bentuk eBook. Dipaparkan apa saja keuntungan eBook bagi pembaca mau pun bagi penulis. Semoga eBook buku-buku kami laris manis juga, aamiin ^_^

Setelah itu, maju Benakribo, seorang blogger muda yang super duper kreatif, yang kemudian postingan-postingan di blognya dibukukan dengan judul Benakribo. Cowok kreatif ini menjelaskan cara keren memanfaatkan secara maksimal media sosial untuk promosi buku. Salah satunya lewat video di youtube dan instagram. 

Waaaah, aku salut deh dengan ide-ide ajaib Benakribo. Membuka mataku akan perlunya berpikir out of the box.

Ini dia Benakribo. Kurang jelas ya fotonyaa

Awalnya aku agak khawatir saat akan datang ke acara ini karena aku belum pernah bertemu teman-teman di Grup Gagas. Tapi begitu masuk ke restoran, Mas Jeffri langsung menyambut dan nanya aku siapa. 

Saat kubilang, "Aku Arumi." 

Beliau menjawab,"Oh, Mbak Arumi. Pantas familiar."

Yup, sebelumnya kami sudah beberapa kali whatsapp-an soal bukuku. :)

Mas Jeffri ini desainer kreatif buku-buku Gagas. 

Lalu ada Sefryana Khairil yang langsung menyambutku dengan senyum khasnya. Ah, masih ingat saja sama aku padahal kami baru sekali ketemu setahun yang lalu. Nggak sangka, penulis top seperti Sefry yang novelnya sudah banyak terbit di Gagas ramah banget menyapaku. Aku jadi merasa lega. Kami memilih duduk berdekatan dan ngobrol macam-macam, sampai kemudian nggak sadar kami saling curhat, hehehe. Seru deh. 

Aku juga ketemu penulis top Orizuka loh, ternyata masih imuut ^_^

Taraaa, kami semua foto bareng. Penulis dan tim redaksi

Dan ... aku masih dapat kejutan tak terduga. Aku dapat doorprize satu set cangkir teh cantik. Wuuiiih, perfek banget deh hari itu. 

Terima kasih Gagas Media sudah mengundangku ke acara keren ini. 

Nggak sabar deh bukuku terbit lagi di Gagas Media ^_^

Hadiah doorprize-nya cantik kan? Buat menyuguhkan minum tamu saat lebaran nanti ^_^

Jangan lupa yaaa, yang belum punya novel terbaruku terbitan Gagas Media, yuuuk diserbu, #MonteCarlo  ^_^