Laman

Minggu, 03 Agustus 2014

Ketika Musim Mudik Tiba

Selamat datang di Kulon Progo Binangun ^_^


Selamat datang Agustus!

Hari ini, cuti bersama lebaran telah berakhir. Mulai senin besok, Jakarta akan kembali normal. Dipadati penduduknya yang aktif berlalu-lalang membuat jalanan Jakarta menjadi super padat.

Plt Gubernur Bapak Ahok akan kembali sibuk mengurusi penduduk Jakarta, yang tentunya, seperti tradisi setiap habis Lebaran, jumlahnya akan bertambah dengan pendatang.

Kali ini aku ingin mengenang masa laluku, saat aku masih kuliah dulu. Ini sepenggal kisah tentang mudik, yang tercecer dalam ingatanku.

Sudah menjadi tradisi bagi sebagian orang, menjelang lebaran adalah musim mudik. Tapi tradisi itu tak ada dalam keluargaku, walau Bapak dan Ibuku adalah perantauan di Jakarta, sejak aku kecil tak pernah sekalipun Bapak mengajak kami sekeluarga mudik ke desa Janten, Jogjakarta, untuk berlebaran bersama Mbah, bulik dan dua sepupuku. Alasan Bapak, karena malas berdesak-desakan dan bermacet-macet ria bersama para pemudik lain.

Bapakku memilih mengajak kami sekeluarga mudik ke kampung halaman Bapak dan Ibuku di Jogja justru seminggu sebelum berpuasa. Sanak saudara kami yang tinggal bertebaran di berbagai pelosok kota, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Jogja juga terbiasa berkumpul seminggu sebelum bulan Ramadan, bersilaturahmi sekaligus berziarah ke makam para leluhur kami. Acara itu kami sebut sebagai acara ruwahan.

Terkadang aku penasaran ingin tahu bagaimana rasanya mudik menjelang lebaran, dan aku juga ingin sekali-kali merasakan bagaimanakah suasana lebaran di kampung Mbahku. Selama bertahun-tahun rutinitas lebaran yang aku jalani di lingkungan tempat tinggalku selalu sama. Di awal pagi Idul Fitri, kami pergi ke masjid dekat rumah, bersiap sholat sunnah Idul Fitri bersama-sama warga tempat tinggalku di halaman masjid.

Seusai sholat Idul Fitri, kami saling berkunjung bersalaman-salaman kepada semua tetangga di kanan, kiri, depan dan belakang rumah. Penduduk di daerah tempat tinggalku kebanyakan adalah warga asli Betawi -Tangerang, merekalah yang menjadi tuan rumah,  sementara kami warga pendatang berkunjung mendatangi rumah mereka satu-persatu. Acara silaturahmi dengan tetangga itu biasanya akan berakhir menjelang pukul sepuluh pagi.

Kemudian dilanjutkan berlebaran ke rumah bulik bapakku dan kakak ibuku. Begitu rutin setiap tahun. Hingga aku merasa suasana lebaran bagiku biasa-biasa saja, kecuali tempat tinggalku yang semakin padat yang artinya semakin banyak tetangga yang harus dikunjungi.

Pada suatu lebaran, ketika aku masih duduk di bangku kuliah, bapakku berencana mengajak kami sekeluarga mudik di hari kedua lebaran.

“Mudik di hari lebaran, pasti jalanan menuju Jogja tak sepadat sebelum lebaran.” Alasan bapak.

Kami semua setuju. Bagiku tak mengapa kami datang terlambat ke kampung Mbahku. Walau sudah hari kedua lebaran, pastilah masih terasa aura lebarannya. Setelah kami usai bersilaturahmi kepada tetangga dan keluarga besar di Jakarta, kami segera pergi tidur, agar bisa bangun menjelang subuh, dan langsung berangkat begitu usai sholat subuh.  Kami sekeluarga menumpang mobil minibus tua yang sudah tak ber-AC milik bapak yang dikendarai sendiri oleh bapak. Waktu itu, bapak masih sehat, masih muda, masih kuat menyetir mobil jarak jauh. Pandangannya pun masih awas.

Perkiraan bapak lalu lintas mudik di hari kedua lebaran pasti lancar tak terbukti. Ternyata banyak juga warga yang memilih baru mulai mudik di hari kedua lebaran. Di beberapa tempat malah ramai sekali dan menimbulkan sedikit kemacetan. Tapi tentunya tak semacet hari-hari sebelumnya. Aku sangat menikmati perjalanan itu. Tak sabar ingin segera sampai di desa Mbahku.

Lewat tengah hari, kami beristirahat di sebuah rumah makan bermaksud hendak makan siang sekaligus menumpang sholat dzuhur. Rumah makan itu lumayan besar, tak ada pengunjung lain kecuali kami. Seorang pelayan mempersilakan kami duduk dan memberikan buku menu.

“Wah, asyik nih, ada sop. Aku mau sop saja, segar," kataku.
“Ibu juga mau sop deh.”

Kedua adikku dan bapak memesan soto ayam. Kami memesan es jeruk sebagai minumannya. Sambil menunggu pesanan, kami sholat dzuhur di mushola rumah makan itu. Tapi seusai sholat, ternyata makanan pesanan kami belum juga diantarkan.

“Kok lama banget ya? Udah keburu laper nih,” keluhku.
“Ayamnya belum ditangkap kali ya?”sahut adikku.
“Ayamnya lagi pada lebaran, hehehe.” Adikku yang bontot ikut nimbrung.

Hingga lebih dari setengah jam, pesenan kami belum juga dihidangkan.

“Wah, kalau memang mereka belum siap melayani pesanan, harusnya jangan buka dong! Jadi kan kita nggak terjebak terlanjur memesan di sini,” keluhku.

“Ya sudah, sabar, kan masih lebaran, masa udah mau ngomel lagi,” tegur ibu.
 “Pasti karena banyak pegawainya yang mudik. Ini Bersyukur loh, masih ada tempat makan yang buka, menolong musafir yang mudik hari ini seperti kita,” kata bapak.

Aku terdiam malu sendiri. Benar, baru saja sebulan lalu berpuasa, menahan segala nafsu amarah, kemarin bermaafan, tak pantas jika sekarang sudah mulai mengomel lagi.

Setelah hampir empat puluh menit, akhirnya pesanan kami baru tersaji. Sopnya tampak dipaksakan segera matang. Wortelnya masih agak keras. Ayam di soto ayam juga masih agak kenyal. Es jeruk yang kami pesan ternyata adalah minuman serbuk jeruk yang diaduk dengan air dingin. Tapi kami nikmati saja semua hidangan itu. Ini lebaran, ikhlas pasti lebih baik untuk semakin menyemarakkan suasana lebaran. Setelah kami cukup beristirahat, kami kembali melanjutkan perjalanan.

Menjelang magrib, sampailah kami di desa Janten. Dari jalan raya, rumah Mbahku sudah terlihat di kejauhan. Karena kanan kiri jalan adalah sawah membentang, maka pandangan menuju rumah Mbahku itu tak terhalang. Mbah, bulik dan kedua sepupuku menyambut kami penuh suka cita.

Desaku yang kucinta. Datang ke rumah ini selalu saja menyegarkan pikiran 


Setelah saling bermaaf-maafkan, aku segera mengeluarkan penganan khas lebaran dari Jakarta yang kami bawa, ada : dodol betawi, tape ketan hitam, uli, kue kembang goyang dan akar kelapa.

“Wah, makanan lebaran di Jakarta seperti ini ya?” kata Mbah putri yang kemudian mencoba dodol betawi.

Bulik dan sepupuku juga ikut mencicipi penganan yang kami bawa. Sementara aku langsung melahap kue khas lebaran di desa Janten seperti apem, wajik tape ketan, krimpying, bakpia dan banyak lagi.

Hidangan kue di Desa Janten
Nggak ketinggalan lemper dan tempe benguk
Foto by Erma


Bagiku rasanya nikmat sekali, karena bercampur dengan rasa sukacita berkumpul bersama Mbah Putri, bulik dan kedua sepupuku.

Lebaranku tahun itu sungguh istimewa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar